A. PENDAHULUA
Hukum pidana
atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak
diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang
mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada zaman Rosululah
dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu
hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau
ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian
yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada.
Syari’at islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim,
karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.Pada dasarnya
dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai
ketetapan hukumnya masing-masing.Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam
hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang
melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda. Hukuman manakah yang akan
dijatuhkan? Apakah satu jenis hukuman ataukah seluruh hukuman?
Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam
sebenarnya tidak terdapat istilah khusus.Namun dalam pengertian ini terdapat
dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan
tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang,
artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
B. PEMBAHASAN
Pengertian Gabungan Hukuman
Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau
perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit
atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Hukuman
dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan bagi
seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan
Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia
karangan S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
Sedangka Abdul
Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut:
العقوبةهيالجزاءالمقررالمصلحةالجماعةعلىعصيانامرالشارع
Artinya :
“Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah
syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat”.
Tujuan hukuman
ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan
yang menimbulkan kerugian.Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif
(pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan
kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap
kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya
masing-masing.Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam
seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan
beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam
sebenarnya tidak terdapat istilah khusus.Namun dalam pengertian ini terdapat
dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan
tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang,
artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat
gabungan jarimah.Gabungan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam
jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan
terakhir.Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya
benar-benar nyata.Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu
jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan.
Contohnya, seperti seseorang melakukan penganiayaan
terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya.Dalam kasus ini pelaku bisa
dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas.Gabungan jarimah nyata adalah
apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelaku, sehingga
masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
Contohnya
seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan
tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut
karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan.Dari penjelasan tersebut terlihat
jelas perbedaan antara gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di
uraikan di atas.Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku
dalam jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan
terakhir) atau belum.Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu
termasuk pengulangan.Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi
hukuman atas semua jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah
tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi
suatu perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah
sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan
dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang
diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana)
secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang
lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana
dilakukan;
§ Bahwa dua/
lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam
hal penyertaan);
§ Bahwa dua/
lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
§ Bahwa dua/
lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
B. Sistem
Pemidanaan
Pada
dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa
dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang
yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana[1].
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4
(empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:
1. Sistem
Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda,
maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang
terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
2. Sistem
Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka
menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang
dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
3. Sistem Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1
(satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat
dengan menambah 1/3 (sepertiga).
4. Sistem
Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan
yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan
terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya.Akan tetapi, jumlah pidana itu
harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat
ditambah 1/3 (sepertiga).
C. Dasar
Hukum
Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang
sangat merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat
dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat
dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63
sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat diuraikan sebagai
berikut:
Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus
idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu
perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63 dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai
berikut:
Bunyi rumusan Pasal 63 KUHP :
1. jika
sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka
hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan,
maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2. Jika
bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan
yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
Dasar Hukum Tindakan berlanjut
Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan
berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
1. Jika
beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang
sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja
yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau
pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan
yang terberat hukuman utamanya.
2. Begitu
juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalAkan
memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu
atau merusakkan uang
Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam
Pasal 364, 373, 379 dan ayat per-tama Pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan
yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran
perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp. 25,- maka, masing-masing
dihukum menurut ketentuan dalam pasal 362,372,378 dan 406.
Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana
(Concursus realis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa
tindak pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
1. Dalam
gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang
diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang
dijatuhkan.
2. Maksimum
hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan
itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat
ditambah dengan sepertiganya.
Selanjutnya mengenai tindak pidana gabungan beberapa
perbuatan ini juga dirumuskan dalam Pasal 66 sebagai lanjutan dari Pasal 65
KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Adapun bunyi Pasal 66 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:
1. Dalam
gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan, tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang
terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu
dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang
terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.
2. Hukuman
denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum hukuman kurungan pengganti denda,
yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Adapun Bunyi Pasal 67 KUHP yang berbuyi sebagai
berikut:
"Jika dijatuhkan hukuman coati atau hukuman
penjara seumur hidup, maka beserta itu tidak boleh dijatuhkan hukuman lain dari
pada mencabut hak tertentu, merampas barang yang telah disita, dan pengumuman
keputusan hakim"
Adapun bunyi Pasal 68 KUHP yang berbuyi sebagai
berikut:
(1) Dalam hal yang tersebut dalam Pasal 65 dan 66,
maka tentang hukuman tambahan berlaku ketentuan yang berikut di bawah ini:
*
Hukuman-hukuman mencabut hak yang dijadikan satu huk-uman, lamanya
sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pada
hukuman-hukuman pokok yang telah dijatauhkan, atau kalau sekiranya tidak ada
hukuman pokok lain dari Benda yang dijatuhkan, dijadikan satu hukuman
sekurang-kurangnya dua tahun selama-lamanya lima tahun.
*
Hukuman-hukuman mencabut hak yang berbagai-bagai jenis, dijatuhkan
masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
*
Hukuman-hukuman merampas beberapa barang-barang yang tertentu, begitu juga
hukuman kurungan bila barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing
bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi.
(2) Jumlah hukuman kurungan pengganti lamanya tidak
boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun bunyi Pasal 69 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut :
1.Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak
sejenis, ditentukan oleh susunan dalam Pasal 10.
2.Dalam hal hakim boleh memilih antara beberapa
hukuman pokok maka pada perbandingan hanya hukuman yang terberat saja yang
boleh dipilihnya.
3.Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak
sejenis, ditentukan oleh maksimumnya.
4.Perbandingan lamanya hukuman pokok yang tidak
sejenis, begitupun hukuman pokok yang sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
Adapun yang diatur di dalam Pasal 70 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
1.Jika secara yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66
ada gabungan antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran
dengan pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu
dengan tidak dikurangi.
2.Untuk pelanggaran, maka jumlah hukuman kurungan,
termasuk juga hukuman kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun
empat bulan hukuman kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun yang diatur di dalam Pasal 70 bis yang berbunyi
sebagai berikut:
"Tentang melakukan Pasal 65, 66, dan 70 KUHP maka
kejahatan yang diterangkan dalam Pawl 302, ayat Pertama, 352, 364, 373, 379 dan
482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan hukuman penjara jumlah
hukuman ini bagi kejahatan-kejahatan itu tidak boleh lebih dari pada delapan
bulan".
Adapun yang diatur di dalam Pasal 71 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut :
"Jika seseorang, sesudah dijatuhkan hukuman,
disalahkan pule berbuat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan sebelum is
dihukum itu maka hukuman yang dahulu itu turut dihitung dengan menggunakan
aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara itu diadili serentak"
Dengan demikian jelas bahwa yang menjadi dasar hukum
dari gabungan tindak pidana baik itu gabungan dalam satu perbuatan, gabungan
dalam beberapa perbuatan maupun perbuatan berlanjut adalah Pasal 63 sampai
Pasal 70 KUHP sebagai mane yang telah dirumuskan diatas.
D.Macam-macam Gabungan Hukuman
1.Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan,
sedang pelakunya hanya berbuat satu jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas,
ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan
jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehingga oleh
hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
2. Gabungan nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara
jelas, baik berkenaan dengan jelas atau berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan
pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman sulaiman melakukan
pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah
sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum
dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse
Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang
melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar
beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak
pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat
mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad
barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu
tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP[2] adalah tindakan nyata atau tindakan
materiil.
Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana
bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang
mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat
dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna
dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit.Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat
dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri
yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui
apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat
disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara
kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah
tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan
pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang
melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang
merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu
tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2)[3] sesuai dengan
asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus
mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana
khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua
unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada
unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis
menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang
terberat.
2.Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse
Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana
sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus.Hal ini
diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP.Menurut ketentuan yang termuat
dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang
dilakukan.Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan
tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 .
Pasal 65 KUHP[4] mengatur gabungan dalam beberapa
perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan
menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam
beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan
sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada
pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena
perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu
sejenis atau tidak.Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan
beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan
kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan
kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini
maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing
pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah
semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu
tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan
pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan
kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing
kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan
ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak
boleh lebih dari delapan bulan.
3.
Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)[5]
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara
perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga
beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini
diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat
beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut.Ada sarjana yang
memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi
beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi
satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku
sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64
KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang
pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66
KUHP.Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang
terberat ditambah dengan sepetiganya.Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang
dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat.Oleh karena itu, Simons menganggap
pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse
samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a.
Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu
kehendak jahat;
b.
Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c.
Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak
terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu
kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik
materil/ formil.Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/
formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut.
Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan
hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1. Teori
saling memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa
pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan
ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi
atau saling memasuki.Teori ini ada dua pertimbangan.
a. Bila
pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh
hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman
dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi,
maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan
hukuman dan ia mencuri lagi.
b. Bila
jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari
bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan
syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk
mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri memakan daging babi, kemudian
meminum khomer serta makan bangkai.
2. Teori
penyerapan
Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman
dengan menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang
lebih berat.
Contoh :
Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain
diaggap tidak, karena telah diserap oleh hukuman mati.
Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam
malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa
semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah
mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
· Hak adami
seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar
atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
· Hak
Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah
qisas, diat, tetapi tidak selalu yang dibayangkan. Islam justru dalam
menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat.
Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi kemaslahatan
manusia.
E. Perbedaan
Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum
Pidana Islam
Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai
gabungan jarimah, yaitu:
1. Teori
berganda. (cumulatie)
Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang
ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya.Kelemahan teori ini
terletak pada banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya
adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan maka akan berubah
menjadi hukuman seumur hidup.
2. Teori
penyerapan. (absorptie)
Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat
menyerap (menghapuskan) hukuman yang lebih ringan.Kelemahan teori ini adalah
kurangnya keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah
yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian ringan.
3. Teori
campuran.
Teori merupakan campuran antara berganda dan
penyerapan.Teori ini dimaksudkan untuk melemahkan teori yang ada dalam kedua
teori tersebut. Menurut teori campuran hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal
hasil gabungan tidak melebihi batas tertenu, sehingga dengan demikian akan
hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman.
Dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai
gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP pidana.Dari pasal
tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana Indonesia ada beberapa teori
yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini.Teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Teori
penyerapan biasa
Menurut teori ini hanya satu pidana yang diterapkan
pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya, apabila suatu
perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan pidana. Contohnya: orang
membunuh dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya adalah membunuh
(pasal 339) dan merusak barang (pasal 406) maka yang diterapkan adalah pasal
339.
2) Teori
penyerapan keras
Menurut teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang
nyata yang diancam dengan hukuman pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman
saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan sepertiga dari
maksimum hukuman yang seberat-bratnya.
3) Teori
berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari
pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat
(2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak
melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan sepertiganya.
4) Teori
berganda biasa
Menurut teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa
dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: “ Jika ada
gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan
kejahatan, atau antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap
pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya
hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula
dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan
teori penyerapan (Al-Jabbu).
a. Teori
saling melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah,
maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua
perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia memperkuat
perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:
Pertama Meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang
semuanya adalah satu macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan
yang berulang kali, maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam
hukuman, selama belum ada keputusan hakim.Beberapa perbuatan dianggap satu
macam selama objeknya adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta
hukumannya, seperti pencurian biasa dan gangguam keamanan (Hirabah).Alasan
penjatuhan satu hukuman saja adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman
dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap
orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman
selama cukup membawa hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali
melakukan perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup,
selama belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru
setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi
hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
Kedua Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berganda dan berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling
melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi
kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan bangkai, darah dan daging babi,
maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman
tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan
perseorangan dan masyarakat.
b. Teori
penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu hukuman, dimana
hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal
ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya
menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama
diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.
Menurut Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul
dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati Karena jarimah murtad,
atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash bagi seseorang lain, maka
hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena hukuman mati tersebut
menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang tetap dilaksanakan,
dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud,
seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu
keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang
dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul
dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak
adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap
oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat
gabungan hak mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus
didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau
sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak
tersebut hapus dengan sendirinya.
Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan
(al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling
melengkapi (tadakhul).Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak
adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman
mati kemudian lagi hukuman mati.
c.Teori Percampuran (al Mukhtalath)
Teori percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan dari dua metode sebelumnya yaitu teori al jabbu
(penyerapan) dan teori al tadaahul (saling memasuki), yaitu dengan cara
menggabungkan keduanya dan mencari jalan tengahnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal bahwa hukum
Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut tidak secara mutlak.Dalam teori
percampuran ini langkah yang dilakukan yakni dengan membatasi kemutlakan dari
dua teori sebelumnya.Penggabungan hukuman boleh dilakukan namun tidak boleh
melampaui batas tertentu.Tujuan daripada pemberian batas akhir ini bagi hukuman
ialah untuk mencegah hukuman yang terlalu berlebihan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat dipisahkan dari
diri seorang muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya gabungan hukuman yang
artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar
telah melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan
perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
Dalam hukum pidana, hukum pidana indonesia, dan hukum
pidana islam memiliki teori yang berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana
terdapat tiga teori mengenai gabungan hukuman, yaitu teori berganda,
penyerapan, dan campuran.Dalam hukum pidana Indonesia terdapat empat teori
mengenai gabungan hukuman yaitu, teori penyerapan keras, penyerapan biasa,
berganda yang dikurangi, berganda biasa.Sedangkan dalam hukum pidana Islam,
teori gabungan hukuman ada tiga, yaitu teori saling melengkapi, teori
penyerapan dan pencampuran.
Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat
antara para fuqaha diantaranya pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan
apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya
jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadapus, berbeda dengan pendapat
imam syafi`i yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu-persatu, dan cara
pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002.Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Djogjakarta:
Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet
I. Jakarta: Sinar Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar –
Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.
[1] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,
1987, hlm. 50
[2] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar –
Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1973, hlm. 68-69
[3] Ibid,
[4] Ibid, hlm. 71
[5] Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Storia
Grafika, 2002.
No comments:
Post a Comment